Minggu, 24 Februari 2013

Sindrom Bahasa Alay, Perlu Dihindari, Tak Perlu Dimaki

Mungkin agak basi juga membahas fenomena yang sudah menjangkiti kaum remaja selama hampir tiga tahun terakhir ini, khususnya di era jejaring sosial macam Friendster, Facebook, lalu menyusul Twitter. Alay adalah sindrom yang mendorong remaja yang cenderung masih labil, untuk berekspresi dengan bahasa “gado-gado” yang ganjil dan sulit dibaca. Tulisan khas alay umumnya penuh singkatan, huruf-huruf yang diwakili dengan angka, kosakata yang diganti dengan frasa “baru” yang senada bila dibaca, dan biasanya butuh waktu yang lebih lama untuk membacanya secara keseluruhan, bahkan bagi alayers itu sendiri.
Frasa “alay” pertama kali saya dengar dari Anang Hermansyah, tiap kali ia menyinggung mengenai peserta Indonesian Idol yang berpenampilan “janggal” atau lagu-lagu yang kurang bermutu. Namun saya tak tahu apakah dia pionir frasa tersebut. Kemudian mulai menjamur para “icon” alay Indonesia, macam Fitri Tropica atau Melaney Ricardo.
Beberapa dari kita mungkin akan mencibir melihat remaja yang dinilai terlalu ekspresif sehingga harus mengobrak-abrik bahasa sendiri, hanya untuk menghindar dari predikat kamseupay. Yah, namanya juga remaja, sekalinya ada tren yang mencuat, maka mereka akan berusaha keras menelusup ke dalam lingkupannya. Tak terkecuali saya, hehe. Maka, sebagai remaja yang tinggal selangkah lagi menuju dewasa, saya punya pemikiran lain terhadap alayers ini….
Alay “Sehat”
Remaja alay jenis ini masih perlu “dimaafkan” karena ia tahu betul kapan harus beralay ria, dan kapan dia menggunakan kaidah bahasa yang hakiki. Apalagi bila ia tetap mafhum akan ejaan yang baik dan benar, sesuai dengan EYD, maka hal itu akan menjadi nilai plus bagi dirinya. Taruhlah bahasa alay itu cuma sebagai jembatan silaturahmi yang akan mempererat hubungan kekerabatannya dengan kawan-kawan sebayanya. Ia pun masih bisa menahan diri untuk tidak mengunggah foto-foto pribadinya yang vulgar, meski hanya sebatas tank top. Tapi remaja sealim apapun, pasti punya fitrah dasar tak mau ketinggalan zaman dan bisa diterima di pergaulan. Selama dia tetap punya batasan yang membentenginya dari rokok, narkoba, dan seks bebas, maka dia saya nilai masih “sehat”.
Alay “Kronis”
Penyakit alay bisa disebut kronis apabila seorang remaja sudah tak tahu lagi cara berbahasa yang benar. Hal ini biasanya akan berpengaruh pada tugas-tugas akademik yang mengharuskan mereka bertumpu pada ejaan yang benar sesuai dengan KBBI. Tak heran saya masih menjumpai frasa seperti “banget”, “nggak”, dan frasa non-baku lain yang dalam KBBI diberi keterangan cak, bahkan dalam karya tulis ilmiah sekalipun. Pun mereka kurang punya filtrasi dalam menyaring setiap tren kosakata baru. Sebut saja kata “secara”, yang jelas-jelas menyalahi kaidah namun mereka menerima begitu saja tanpa mau mengkaji terlebih dahulu. Yang lebih memprihatinkan, mereka kerap sekenanya menggunakan kosakata yang sebenarnya tabu. Contoh saja, karena tren alay ini penggunaan kata “autis” dan “cacat” semakin menjadi-jadi dan secara tak resmi menjadi istilah generik bagi mereka yang terlalu asyik dengan dunianya sendiri. Padahal kalau mereka mau menyelami makna “autis” dan “cacat” yang sesungguhnya, mungkin mereka akan trenyuh dan segera bersyukur punya fisik yang normal.
Termasuk dalam kategori manakah kita, itu tergantung pada diri kita masing-masing. Kalaupun saya merasa sebagai alayer kronis, insya Allah saya masih punya kesadaran diri serta pegangan yang bisa menghantarkan saya kembali ke tingkat “sehat”.
Alay memang bukan tren berbahasa yang patut ditiru, tapi saya rasa kita takkan bisa bersinergi menghapus sindrom ini. Sebab, perkembangan zaman akan selalu ada, menjadi salah satu elemen yang berbaur dengan kita dalam putaran roda zaman, tak ubahnya seperti minuman yang dilarutkan dalam air putih. Toh lagi pula, alay atau tidak tak bisa jadi parameter lengkap untuk mengukur intelegensi seseorang. Saya pernah lho bertanya sesuatu lewat Yahoo! Answer, dan saya mendapat respons dengan tekstur bahasa khas alay namun sangat berbobot dan berisi. Memang rasanya terlalu naif kalau kita berharap kebiasaan berbahasa ala zaman Ira Maya dan Kakek Ateng diterapkan kembali di Indonesia.
Tak ada yang melarang kita untuk mengkritisi bahasa alay, namun bagaimana kalau seiring dengan perkembangannya, kita pun membenahi kebiasaan berbahasa kita sendiri? Mulai saja dari hal-hal yang kecil, seperti penggunaan kata depan atau imbuhan “di”. Saya acapkali menemukan kompasianer cerdas namun masih seringkali mengetekskan kata “dimana” (bukan “di mana”), “disini” (bukan “di sini”), “di ambil” (bukan “diambil”), dan sebagainya. Memang, isi tulisan adalah kriteria terpenting dalam menyematkan prestise bermanfaat, namun kecakapan dalam menggunakan kaidah bahasa yang benar akan menjadi nilai plus, lho.
Perbedaan adalah dinamika hidup, bukan sesuatu yang harus ditindak keras secara rasial. Selama kita bisa membedakan kapan waktunya untuk berbeda, dan kapan waktu untuk seragam, maka perbedaan akan menjadi pemanis yang kekal.
$@L4m k0mP4s!@N4!
http://bahasa.kompasiana.com/2012/04/28/sindrom-bahasa-alay-perlu-dihindari-tak-perlu-dimaki-458198.html

0 komentar:

Posting Komentar