Mungkin agak basi juga
membahas fenomena yang sudah menjangkiti kaum remaja selama hampir tiga
tahun terakhir ini, khususnya di era jejaring sosial macam Friendster,
Facebook, lalu menyusul Twitter. Alay adalah sindrom yang mendorong
remaja yang cenderung masih labil, untuk berekspresi dengan bahasa
“gado-gado” yang ganjil dan sulit dibaca. Tulisan khas alay umumnya
penuh singkatan, huruf-huruf yang diwakili dengan angka, kosakata yang
diganti dengan frasa “baru” yang senada bila dibaca, dan biasanya butuh
waktu yang lebih lama untuk membacanya secara keseluruhan, bahkan bagi
alayers itu sendiri.
Frasa
“alay” pertama kali saya dengar dari Anang Hermansyah, tiap kali ia
menyinggung mengenai peserta Indonesian Idol yang berpenampilan
“janggal” atau lagu-lagu yang kurang bermutu. Namun saya tak tahu apakah
dia pionir frasa tersebut. Kemudian mulai menjamur para “icon” alay Indonesia, macam Fitri Tropica atau Melaney Ricardo.
Beberapa
dari kita mungkin akan mencibir melihat remaja yang dinilai terlalu
ekspresif sehingga harus mengobrak-abrik bahasa sendiri, hanya untuk
menghindar dari predikat kamseupay. Yah, namanya juga remaja, sekalinya
ada tren yang mencuat, maka mereka akan berusaha keras menelusup ke
dalam lingkupannya. Tak terkecuali saya, hehe. Maka, sebagai remaja yang
tinggal selangkah lagi menuju dewasa, saya punya pemikiran lain
terhadap alayers ini….
Alay “Sehat”
Remaja
alay jenis ini masih perlu “dimaafkan” karena ia tahu betul kapan harus
beralay ria, dan kapan dia menggunakan kaidah bahasa yang hakiki.
Apalagi bila ia tetap mafhum akan ejaan yang baik dan benar, sesuai
dengan EYD, maka hal itu akan menjadi nilai plus bagi dirinya. Taruhlah
bahasa alay itu cuma sebagai jembatan silaturahmi yang akan mempererat
hubungan kekerabatannya dengan kawan-kawan sebayanya. Ia pun masih bisa
menahan diri untuk tidak mengunggah foto-foto pribadinya yang vulgar,
meski hanya sebatas tank top. Tapi remaja sealim apapun, pasti punya
fitrah dasar tak mau ketinggalan zaman dan bisa diterima di pergaulan.
Selama dia tetap punya batasan yang membentenginya dari rokok, narkoba,
dan seks bebas, maka dia saya nilai masih “sehat”.
Alay “Kronis”
Penyakit
alay bisa disebut kronis apabila seorang remaja sudah tak tahu lagi
cara berbahasa yang benar. Hal ini biasanya akan berpengaruh pada
tugas-tugas akademik yang mengharuskan mereka bertumpu pada ejaan yang
benar sesuai dengan KBBI. Tak heran saya masih menjumpai frasa seperti
“banget”, “nggak”, dan frasa non-baku lain yang dalam KBBI diberi
keterangan cak, bahkan dalam karya tulis ilmiah sekalipun. Pun
mereka kurang punya filtrasi dalam menyaring setiap tren kosakata baru.
Sebut saja kata “secara”, yang jelas-jelas menyalahi kaidah namun mereka
menerima begitu saja tanpa mau mengkaji terlebih dahulu. Yang lebih
memprihatinkan, mereka kerap sekenanya menggunakan kosakata yang
sebenarnya tabu. Contoh saja, karena tren alay ini penggunaan kata
“autis” dan “cacat” semakin menjadi-jadi dan secara tak resmi menjadi
istilah generik bagi mereka yang terlalu asyik dengan dunianya sendiri.
Padahal kalau mereka mau menyelami makna “autis” dan “cacat” yang
sesungguhnya, mungkin mereka akan trenyuh dan segera bersyukur punya
fisik yang normal.
Termasuk
dalam kategori manakah kita, itu tergantung pada diri kita
masing-masing. Kalaupun saya merasa sebagai alayer kronis, insya Allah
saya masih punya kesadaran diri serta pegangan yang bisa menghantarkan
saya kembali ke tingkat “sehat”.
Alay
memang bukan tren berbahasa yang patut ditiru, tapi saya rasa kita
takkan bisa bersinergi menghapus sindrom ini. Sebab, perkembangan zaman
akan selalu ada, menjadi salah satu elemen yang berbaur dengan kita
dalam putaran roda zaman, tak ubahnya seperti minuman yang dilarutkan
dalam air putih. Toh lagi pula, alay atau tidak tak bisa jadi parameter
lengkap untuk mengukur intelegensi seseorang. Saya pernah lho bertanya
sesuatu lewat Yahoo! Answer, dan saya mendapat respons dengan tekstur
bahasa khas alay namun sangat berbobot dan berisi. Memang rasanya
terlalu naif kalau kita berharap kebiasaan berbahasa ala zaman Ira Maya
dan Kakek Ateng diterapkan kembali di Indonesia.
Tak ada
yang melarang kita untuk mengkritisi bahasa alay, namun bagaimana kalau
seiring dengan perkembangannya, kita pun membenahi kebiasaan berbahasa
kita sendiri? Mulai saja dari hal-hal yang kecil, seperti penggunaan
kata depan atau imbuhan “di”. Saya acapkali menemukan kompasianer cerdas
namun masih seringkali mengetekskan kata “dimana” (bukan “di mana”),
“disini” (bukan “di sini”), “di ambil” (bukan “diambil”), dan
sebagainya. Memang, isi tulisan adalah kriteria terpenting dalam
menyematkan prestise bermanfaat, namun kecakapan dalam menggunakan
kaidah bahasa yang benar akan menjadi nilai plus, lho.
Perbedaan
adalah dinamika hidup, bukan sesuatu yang harus ditindak keras secara
rasial. Selama kita bisa membedakan kapan waktunya untuk berbeda, dan
kapan waktu untuk seragam, maka perbedaan akan menjadi pemanis yang
kekal.
$@L4m k0mP4s!@N4!
http://bahasa.kompasiana.com/2012/04/28/sindrom-bahasa-alay-perlu-dihindari-tak-perlu-dimaki-458198.html
0 komentar:
Posting Komentar